Menyampaikan Dakwah Bukan Untuk Mempertajam Perpecahan Tapi Penyatuan Umat & Tasamuh, Islam Bagi Buih Dan Sedang Didzolimi
Kamis, 11 April 2013
Nikita Willy Guru ngaji Diego Muhammad, Yg ni baru berita
Nikita Willy Guru ngaji Diego Muhammad, Yg ni baru berita
Hidayah Allah SWT bisa datang kepada siapa saja dan datang kapan saja, dan tidak ada orang yang bisa memberikan hidayah kepada orang lain karena hidayah adalah datang dari Allah sendiri. Begitu juga Hidayah datang kepda pemain bola Diego yang berubah nama menjadi Diego Muhammad setelah mengenal dan berpacaran dengan artis Nikita Willy
Setelah Pemain sepak bola Diego Masuk Islam maka kekasihnya Nikita Willy sibuk menjadi guru ngaji, nikita mengajari agama Islam satu persatu dengan sabar, walau terasa mengajari anak TK yang berumur namun sangat menyenangkan.
Nikita Willy sangat bersyukur karena dapat menjadi perantara untuk memberikan petunjuk kepada Diego Muhammad menjadi Mualaf, setelah melalui peristiwa yang menyedihkan karena berurusan dengan hukum namun sekarang menjadi saat yang menyenangkan bagi mereka berdua dan orang sekelilingnya,
Rabu, 10 April 2013
SISTEM PERTANAHAN JAMAN KERAJAAN MATARAM ISLAM
SISTEM PERTANAHAN JAMAN KERAJAAN MATARAM ISLAM
Oleh: Agust. Supriyono
Abstract
Focus of this article is the
landssystem, especially at the period of pre-colonial kingdoms in Java. The
landssystem at that time was based on feodalism, in which the king, as the
owner of authority and lands, distributed the lands to the nobles and
functionaries in the kinndom. The distribution of the lands was as
substitute of the salary, because the kingdomsfinances functioned not in
the economic system
Keywords:
Landssystem, Feodalism, Java
A. Pendahuluan
Yang dimaksud dengan
sistenm pertanahan dalam tulisan ini adalah, bagaimana tanah-tanah itu
dieksploitasi dalam suatu sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan
pada jaman raja-raja pra-kolonial. Sementara yang dimaksud dengan jaman
raja-raja pra-kolonial adalah jaman sebelum adanya pemerintah Belanda yang
mewakili pemerintah kerajaan Belanda di Nusantara (Indonesia), yaitu sesudah
runtuhnya VOC tahun 1799 dan digantikan oleh pemerintah kolonial
Hindia-Belanda.
Sistem pemerintahan pada jaman
itu lazim disebut dengan istilah feodalisme, yaitu sistem
pemerintahan yang menempatkan raja sebagai penguasa tertinggi, sedangkan
para bangsawan keluarga raja dan para aparat birokrasi adalah anak buah raja
yang dijadikan alat untuk memerintah rakyat. Dengan demikian rakyat adalah
penduduk kerajaan yang diperintah. . Disamping itu dalam feoadalisme kekuasaan
didirtribusikan kepada parta bangsawan dan aparat birokrasi sejalan dengan pembagian
tanah kerajaan. Artinya bahwa para bangsawan dan aparat birokrasi itu
memperoleh tanah dari raja sebagai tanah jabatan (apanage atau feodum), yang
luasnya tergantung tinggi rendahnya derajad kebangsawanan dan jabatan dalam
struktur birokrasi kerajaan. Dalam feodalisme kerajaan Mataram di Jawa pada
jaman raja-raka pra-kolonial, tinggi redahnya derajad kebangsawanan
dan jabatan dalam struktur birokrasi, akan mempengaruhi pula luas tanah
jabatan. Kemudian tanah-tanah tersebut diserahkan kepada rakyat (petani)
sebagai pihak yang diperintah untuk menggarap tanah-tanah tersebut.
Warisan sistem feodal yang
masih bisa diamati pada masa kini adalah gaji para kepala desa (Lurah)
dan juga sebagian perangkat desa dalam bentuk tanah bengkok. Hal itu merupakan
ironi, karena jabatan lurah sendiri di daerah-daerah pedesaan ditentukan
melalui sistem pemilihan kepala desa (pilkades) yang bersifat demokratis.
Namun demikian tulisan ini bukan terutama akan membahas mengenai kepala desa
(lurah), akan tetapi mengenai sistem pertanahan jaman raja-raja pra-kolonial.
Pada prinsip para bangsawan dan pejabat kerajaan dari yang tertinggi sampai
yang terendah memperoleh penghasilan atau gajih yang berupa tanah jabatan atau
tanah apanage. Namun demikian bagaimana sistem itu berjalan atau dilaksanakan
di lapangan merupakan bahasan utama dalam tulisan ini.
B. Sistem Kebangsawanan, Pembagian Wilayah dan Birokrasi
Pada jaman raja-raja feodal
pra-kolonial, sistem kebangsawanan, pembagian wilayah dan birokrasi kerajaan
sangat berkaitan erat dengan sistem pertanahan. Hal ini bisa dimengerti
karena pada hakekatnya pengertioan feodalisme adalah sistem
pemerintahan yang dalam pendistribusian kekuasaan berjalan
sejajar dengan pembagian tanah kepada para aparat brokrasi dan
bangsawan. Dengan demikian tanah merupakan hal sangat penting dalam
penyelenggaraan kekuasaan.
Terdapat dua kriteria untuk
menentukan kedudukan seseorang dalam stratifikasi masyarakat kerajaan Mataram
tradisional. Yang pertama bahwa status atau kedudukan bangsawan seseorang
ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang kekuasaan
yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang dalam
hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu dari kriteria
itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam
stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan mataram. Untuk kriteria yang
disebutkan pertama hanya ditempati oleh para bangsawan yaitu yang
berdasarkan atas hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu
raja. Sementara untuk yang disebutkan kedua bisa berasal dari bangsawan
atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa
diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan darah seseorang dengan
raja berarti semakin tinggi pula status kebangsawanan
seseorang.Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu
dari pemegang kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah
kebangsawanannya, yang berarti semakin menurun pula derajad kebangsawanannya.
Pada umumnya derajad kebangswanan itu hanya menurun kepada ahli waris raja
sampai derajad keempat atau paling jauh sampai derajad kelima.
Berdasarkan peraturan yang
dibuat oleh raja Mataram yaitu Amangkurat, yang kemudian dilengkapi oleh
Paku Buwana X, terdapat lima tingkatan dalam hiererki kebangsawanan
yaitu:[1]
1. Para putra raja, termasuk dalam golongan gusti.
2. Para cucu raja, termasuk dalam golongan bendara
3. Para cicit raja, termasuk dalam golongan abdi sentana
4. Para canggah, termasuk golongan bendara sentana
5. Para wareng raja, termasuk dalam golongan abdi kawula
warga
Sementara itu menurut Van den
Berg, hanya terdapat empat gelar bangsawan di luar raja. Gelar tertinggi, yaitu
para putra raja, yang mempunyai gelar Pangeran, kedua adalah para
cucu raja dengan gelar Raden Mas yang lai-laki dan Raden
Ayu untuk yang perempuan, ketiga adalah para cicit raja dengan
gelar Raden (laki-laki) dan Raden Nganten(perempuan),
keempat atau terakhir adalah para canggah raja dengan gelar Mas (laki-laki)
dan Mas Nganten (perempuan).[2]
Bersama dengan raja sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, golongan kaum bangsawan itu menduduki strata
tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat tradisional Jawa pada jaman kerajaan
Mataram Islam. Semakin dekat hubungan darah seseorang dengan raja, maka
semakin tinggi pula status sosialnya. Prinsip keturunan sebagai penentu
status ini mengakibatkan sulinya mobilitas sosial dari orang-orang yang bukan
keturunan raja. Hal iu diperparah oleh kebiasaan dalam masyarakat
tradisional yang memang cenderung untuk mempertahankan status sosial yang sudah
mapan sebagai suatu keharmonisan.[3]. Sistem status sosial
semacam itu lazim disebut dengan istilah ascribet status, yaitu
status sosial yang diperoleh berdasarkan keturunan atau kelahiran tanpa
memandang atau membedakan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan.
Mengenai pembagian wilayah,
sebelum semakin berkurang sebagai akibat aneksasi wilayah-wilayah kerajaan
Mataram Islam oleh Belanda, terutama pada jaman pemerintahan Sultan Agung
sebagai raja ketiga yang memerintah Matara Islam dari tahun 1613 – 1645,
wilayah kekuasaan kerajaan Mataram masih meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa
Timur, serta sebagian Jawa Barat.[4] Pada masa pemerintahan
raja-raja pengganti Sultan Agung wilayah kerajaan Mataram itu secara
berangsur-angsur semakin menyusut sebagai akibat aneksasi yang dilakukan oleh
Belanda.
Dalam sistem pemerintahan
kerajaan Mataram Islam wilayah kerajaan dibagi menjadi 4 bagian. Yang perama
adalah wilayah Kuthagara atau Kutha Negara, yan
merupakan wilayah inti kerajaan Mataram. Di Kuthagara inilah terletak istana
atau kraton yang sekaligus merupakan tempat tingal raja beserta keluarga
besarnya, dan para pejabat tinggi kerajaan. Kuthagara juga merupakan
pusat atau ibukota kerajaan, dan tempat raja serta para pejabat
tinggi kerajaan mengendalikan pemerintahan.[5]
Diluar wilayah Kutha Negara
terdapat apa yang disebut wilayah Negara Agung, yang juga
masih termasuk sebagai wilayah inti kerajaan, yang letaknya mengitari
Kuthagara. Di wilayah inilah terletak tanah lungguh atau apanage (yang
akan dibahas di belakang) para bangsawan kraton dan pejabat tinggi kerajaan
yang bertempat tinggal di Kutha Negara. Daerah daerah yang termasuk
wilayah Negara Agung adalah Mataram (kira-kira sama dengan Yogyakarta yang
sekarang ini), Pajang (terletak di sebelah Barat Daya Surakarta),
Sukowati (terletak di sebelah Timur Laut Surakarta sekarang ini), Begelen,
Kedu, Bumi Gede atau Siti Ageng (daerah yang terletak di sebelah Barat Laut
Surakarta di tambah dengan daerah di sebelah Barat Daya Semarang dengan garis
batas kira-kira antara Ungaran dengan Kedung Jati.[6]
Yang ketiga di luar wilayah
Negara Agung terdapat wilayah yang disebut dengan istilah Manca Negara. Sesuai
dengan posisi arahnya dari pusat kerajaan yaitu Kutha Negara, wilayah Manca
Negara dibagi menjadi dua yaitu wilayah Manca Negara Wetan (Timur)
dan Manca Negara Kulon (Barat). Tidak seperti wilayah Negara
Agung, di Manca Negara tidak terdapat tanah-tanah lungguh atau apanage dari
para bangsawan Kraton dan pejabat tinggi kerajaan. Akan tetapi pada waktu
kerajaan Surakarta diperintah oleh Paku Buwana IV (1788-1820),
terdapat tanah apanage yang berlokasi di wilayah Manca Negara. Hal itu sebagi
akibat perang perebutan kekuasaan di Kasultanan Yogyakarta, antara raja
Hamengku Buwana (HB) II melawan putranya sendiri yaitu Pangeran Adipati Anom,
yang mengiginkan kedudukan tahta dari ayahnya. Adipati Anom meminta bantuan
kepada Ingtgris, sedangkan raja H.B. II meminta bantuan kepada Paku
Buwana IV. Dalam pertempuran pada tahun 1812 antara kedua belah fihak yang
bersengketa, H.B. II ditangkap oleh Inggris dan
kratonYogyakarta berhasil diduduki. Akhirnya Adipati
Anom berhasil menjadi raja menggantikan ayahnya.[7] Sementara itu Paku Buwana
IV yang telah membantu raja Yogyakarta H.B. II dituntut oleh Inggris unuk
membayar ganti rugi perang dan menyerahkan tanah di Kedu, Wisobo dan Blora.
Penyerahan itu dituangkan melalui perjanjian 1 Agustus 1812.[8] dan untuk penyerahan itu
P.B. IV mendapat ganti rugi sebesar 12.000 ringgit. Sebagai ganti tanah lungguh
para pejabat tinggi kerajaan di Kedu yang diambil alih Inggris, Sunan
memberikan tanah-tanah di daerah Madiun dan Kediri.[9]
Pada masa pemerintahan raja
Paku Buwana II di Mataran Kartasura yang memerintah dari tahun 1726 – 1749,
wilayah Manca Negara ini secara keseluruhan meliputi daerah daerah sebagai
berikut:
a. Manca Negara Barat: Banjar, Banyumas dan pasir (Purwakerta),
Ngayah, Kalibeber, Modern (Timur Banyumas), Roma (Karanganyar), Karangbolong,
Warah, Tersana, Karencang, Lebalsiyu, Balapulang, Bobotsari, Kartanegara,
Bentar dan Dayaluhur.
b. Manca Negara Timur: Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Magetan,
Caruban, Kaduwang, Pace, Kertasana, Sarengat dan Blitar, Jipang, Grobogan,
Warung, Sela, Blora, Rawa, Kalangbret, Japan, Wirasaba (Majaagung), Barebeg
dan Jagaraga.
Di luar wilayah Mancanegara dan
yang letaknya paling jauh dari pusat kerajaan terdapat apa yang disebut dengan
istilah wilayah Pasisiran (pantai). Wilayah ini juga dibagi
menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Wetan (Timur), meliputi
daerah-daerah pantai dari Demak ke barat, dan Pasisiran Kulon (Barat)
yaitu wilayah dari daerah Jepara ke timur. Pada masa pemerintahan Paku
Buwana II daerah-daerah Pasisiran barat terdiri dari daerah-daerah: Brebes,
Bentar, Labaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Demak, dan Kaliwungu.
Sementara wilayah Pasisiran timur terdiri dari daerah-daerah: Jepara, Kudus,
Cengkal, Pati, Juwana, Rembang, Pajangkungan, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan,
Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi, Blambangan dan Madura.[10] Wilayah
Pasisiran kerajaan Mataram secara berangsur-angsur menjadi menyusut sejak jaman
pemerintahan Paku Buwana II sebagai akibat anenksasi oleh Belanda (VOC)
Mengenai sistem birokrasi yang
dimaksud tulisan ini adalah suatu cara untuk mengatur jalannya pemerintahan.
Sebagai pusat dan pemegang kekuasaan tertinggi, kedudukan raja sesungguhnya
berada di luar birokrasi. Akan tetapi raja adalah pemilik aparat birokrasi itu
yang bernama kaum priyayi. Aparat birokrasi itu berfungsi sebagai alat
untuk menjalankan pemerintahan dan mengendalikan rakyatnya sebagai golongan
yang diperintah. Kekuasaan raja adalah bersifat mutlak, karena tidak ada
lembaga atau kekuasaan lain yang bisa mengontrolnya.[11] Dengan
kata lain birokrasi kerajaan adalah alat yang dipergunakan untuk mengendalikan
dan menjalankan pemerintahan. Tanggung jawab raja cukup bersifat moral yaitu
sebagai saluran kepentingan kolektif dan simbol konsensus dalam menjaga
stabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Mengingat kedudukan raja yang
sedemikian itu, maka terdapat pemisahan yang tegas antara raja sebagai sumber
hukum dan kekuasaan dengan aparat birokrasi sebagai lembaga eksekutif
yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan.[12]
Dalam lingkungan istana, kaum
bangsawan memiliki status lebih tinggi daripada aparat
birokrasi. Disamping itu raja bersama kaum bangsawanlah yang berhak
mewarisi kekuasaan. Sementara itu para aparat birokrasi merupakan
alat pemerintahan dari raja dalam rangka menjembatani dan mengatur hubungan
antara raja dengan rakyatnya. Kedudukan para aparat
birokrasi juga sangat tergantung kepada raja, karena pengangkatan dan
pemecatan mereka adalah menjadi hak dan oleh raja. Hanya saja dari
golongan kaum bangsawan inilah pada umumnya pejabat-pejabat tinggi kerajaan
diangkat oleh raja.[13] Artinya
para bangsawan memiliki kesempatan jauh lebih besar untuk menduduki strata
tertinggi dalam struktur birokrasi daripada orang kebanyakan.
Dalam hal struktur birokrasi
adalah “Patih” yang sesungguhnya menempati posisi tertinggi, dan patih inilah
yang merupakan pimpinan dari seluruh aparat birokrasi. Para aparat birokrasi
ini mempunyai tugas melaksanakan perintah atau kehendak raja.
Disamping menduduki strata
tertinggi dalam struktur birokrasi kerajaan Mataram Islam, Patih juga sekaligus
sebagai wakil raja, tangan kanan raja, kepala daerah atau kepala dari para
pejabat di bawahnya yaitu para bupati. Sebelum tahun 1755 di kerajaan Mataram
Surakarta terdapat Patih Lebet (dalam) dan Patih Jawi (Luar).
Patih Lebet berkedudukan sebagai koordinator dan sekaligus sebagai pimpinan
para pejabat tinggi di bawahnya yang tugasnya mengurusi pemerintahan dalam
istana (kraton). Akan tetapi sesudah tahun 1755 jabatan Patih Lebet
dihapus, sehingga seluruh urusan pemerintahan dalam istana dilaksanakan oleh
Wedana Lebet (lihat di belakang), yang salah satu di antara mereka
menjadi pimpinannya, yaitu Wedana Bupati.[14]
Sementara itu Patih Luar adalah
koordinator dan pimpinan para Wedana Jawi (luar), yang bertugas mengurusi
pemerintahan di wilayah Negara Agung . Tugas Patih Luar itu antara lain dalam
pajak dan perekurutan tenaga kerja apabila sewaktu-waktu dibutuhkan
oleh raja. Patih luar adalah pejabat terpenting dalam pemerintahan
kerajaan, karena segala perintah untuk semua pejabat di bawahnya
adalah datang dari dan melalui Patih. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan
dalam istana kerajaan Mataram Islam, yang memberi arti Patih sebagai parintah (perintah)
atau pemerintah. Maksudnya bahwa Patih adalah sebagai pemberi perintah
berdasarkan wisesa (kuasa) dari raja sebagai penguasa
tertinggi.[15]
Di bawah jabatan Patih terdapat
jabatan Pangeran Adipati Anom dengan gelar lengkapnya Pangeran
Adipati Anom Sudibya Raja Putra Narendra Mataram. Adipati Anom adalah putra
raja yang lahir dari permaisuri dan sudah ditetapkan sebagai calon pengganti
raja (Putra Mahkota). Apabila suatu saat jabatan raja baru masih kosong
(misalnya karena raja meninggal) dan belum dinobatkan atau ditetapkan
penggantinya yang baru, maka Putra Mahkota akan secara langsung menjalankan
fungsi atau tugas raja sampai ia diangkat menjadi raja yang baru.[16] Dalam
urusan kenegaraan Adipati Anom ini menempati urutan ketiga (sesudah raja dan
patih), akan tetapi di lingkungan kraton ia menduduki tempat kedua, yaitu
sesudah raja. Oleh karena itulah terdapat pembedaan yang tegas
antara Kepatihan (kediaman patih) dan Kadipaten atau
Astana Pangeran (tempat kediaman para pangeran). Patih adalah kepala para
pegawai kerajaan (priyayi), sedangkan Adipati Anom adalah kepala lingkungan
kebangsawanan atau keningratan.
Pejabat birokrasi kerajaan yang
sesungguhnya berada langsung di bawah patih adalah para wedana atau nayaka.
Sesuai dengan wilayah kerja mereka masing-masing, jabatan wedana ini dikelompokkan
menjadi dua golongan yaitu Wedana Lebet (dalam) dan Wedana
Jawi (luar). Wedana Lebet bekerja di dalam istana dan terdiri
dari 4 wedana yaitu Wedana Keparak Kiwa (kiri), Wedana
Keparak Tengen (kanan), Wedana Gedhong Kiwa dan Wedana
Gedhong Tengen. Wedana Keparak Kiwa dan Wedana Keparak Tengen
mempunyai tugas dalam bidang keprajuritan, dan masing-masing membawahi 1.000
orang prajurit.
Untuk Wedana Jawi, yang
biasanya mempunyai gelar Tumenggung atau Kyai Tumenggung, mempunyai
tugas di luar istana yaitu di wilayah Negara Agung. Sesuai dengan wilayah
kerja mereka masing-masing terdapat 8 jabatan Wedana Jawi yaitu, Wedana
Bumi, Wedana Bumija, Wedana Siti Agung Kiwa, Wedana
Siti Agung Tengen, Wedana Sewu,Wedana Numbak Anyar, Wedana
Penumping dan Wedana Panekar.[17] Dengan demikian mereka adalah kepala daerah di wilayah kerja
masing-masing. Namun demikian di dalam istana mereka memiliki keahlian atau
tugas-tugas khusus. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Paku Buwana II
gelar dan tugas para wedana di dalam kraton adalah sebagai berikut:[18]
1. Wedana Keparak Kiwa, Raden Tumengung Ngurawan, adalah ahli dalam
bidang keprajuritan, kesusateraan Jawa dan Arab, ahli berbagai bahasa dan
sekaligus sebagai penterjemah.
2. Wedana Keparak Tengen, Raden Tumenggung Natawijaya, mempunyai
keahlian membuat senjata, melatih berperang, melatih prajurit mata-mata dan
sebagainya.
3. Wedana Gedhomg Kiwa, Kyai Tumenggung Tirtawiguna, bertugas dalam
bidang keuangan (bendahara raja) dan ahli membuat pakaian prajurit.
4. Wedana Gedong Tengen, Kyai Tumengung Mangun Nagara, ahli dalam
bidang masak-memasak dan kesenian Jawa.
5. Wedana Sewu, Kyai Tumenggung Hanggawangsa dan Werdana Numbak
Anyar, keduanya mempunyai tugas menyediakan tenaga kerja wajib untuk kerajaan,
mencari dan menyediakan orang-orang cantik dan menyediakan orang-orang kuat
untuk menjalankan pekerjaan berat seperti menyelam dan sebagainya.
6. Wedana Bumi Kyai Tumengung Natayuda dan Wedana Bumija Kyai
Tumenggung Mangkuyuda, keduanya mempunyai keahlian dalam bidang pertanian
.
Para Wedana ini biasanya
mempunyai pembantu serbaguna yang sekalgus sebagai wakil mereka
yaitu Kliwon, Penewu, mantri, lurah, bekel dan jajar. Sebelum tahun 1831,
bawahan kliwon ini dibedakan menjadi tujuh pangkat secara berurutan dari yang
tertingi yaitu penewu, penatus, peneket, panalawe, panigangjung dan panakikil.[19]
Untuk wilayah Manca Negara dan
Pasisiran, terdapat jabatan Wedana Bupati yang menjadi kepala para bupati.
Mereka itu adalah Wedana Bupati Manca Negara Barat, Wedana Bupati Manca Timur,
Wedana Bupati Pasisiran Barat dan Wedana Bupati Pasisiran
Timur. Para bupati di kedua wilayah itu biasanya bergelar Tumenggung atau Raden
Arya.[20]
Mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang ditunjuk dan diangkat oleh
pusat (raja) terutama berdasarkan pertimbangan kesetiaan mereka, dan bukan berdasarkan
kemampuan mereka.[21] Tugas
para bupati itu adalah mengumpulkan pajak (upeti) yang harus dibayarkan
pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada saat upacara “Grebeg”, sebagai bukti
penghormatan dan kesetiaan mereka kepada raja. Disamping itu mereka juga
harus menyediakan pancen (jatah) prajurit untuk membantu
pemerintah pusat pada masa perang.[22]
C. Eksploitasi Tanah
Pada masa kerajaan Mataram
Islam yang agraris, kegiatan ekonomi sebagian besar masih dilakukan
dengan cara tukar-menukar, upeti yang terdiri dari hasil panen dan tenaga kerja.
Meskipun sudah ada organisasi/ lembaga keuangan di pusat kerajaan, akan tetapi
belum berfungsi sebagai alat perekonomian kerajaan yang utama. Bagi raja
kekayaan adalah alat yang ditimbun dan kadang-kadang digunakan untuk membeli
dukungan., sehingga tidak pernah dianggap sebagai alat efisiensi dalam
organisasi ekonomi kerajaan.[23]
Sementara itu dalam konsep
kekuasaan Jawa, raja adalah pemilik tanah dengan kekuasaanya yang mutlak. Tanah
itu dibagi-bagikan kepada para pejabat birokrasi dan para bangsawan sebagai
tanah apanage, dan kemudian diserahkan kepada rakyat untuk dikerjakan.[24] Hasil
panen dari tanah-tanah yang dikerjakan rakyat di pedesaan, upeti atau
penyerahan wajib lainya diserahkan oleh para kepala desa (petingi atau bekel)
kepada para atasanya yaitu para Demang. Para demang ini
kemudian menyerahkan lagi kepada para atasanya yaitu para Panji,
yang biasanya bergelar Tumenggung. Kepala dari para panji adalah
Wedana yang selanjutnya bertangung jawab secara langsung kepada Patih.[25](Schrieke,
1951, part II: 191-194).
Agar bisa mengontrol
tanah-tanahnya yang dikerjakan oleh rakyat di pedesaan, raja mengangkat
petugas-petugas khusus, yaitu apa yang disebut dengan istilah bekel, petinggi
dan sebagainya, yang sekaligus berfungsi sebagai pemungut pajak. Mereka ini
tentu saja juga diberi imbalan jasa atau semacam gajih, yaitu bagian dari hasil
tanah desa di wilayah kerja mereka masing-masing. Untuk para bekel ini raja
memberikan tanah bebas pajak yang luasnya seperlima dari tanah sawah yang ada
di wilayah kerja mereka masing-masing. Kemudian separoh dari sisanya, yaitu
sebesar 2/5 bagian menjadi hak para petani penggarap yang mereka nikmati pada
setiap panen. Sisanya lagi yang tinggal 2/5 bagian, harus dipotong lagi 1/5
bagian untuk bupati sebagai kepala daerah dan 1/5 lagi menjadi bagian para
kepala distrik seperti Demang dan Ngabehi. Dengan
demikian raja tinggal memperoleh bagian 2/5 x 100 % - 2/5 x 40 % = 40 % - 16 %
= 24 % dari seluruh hasil panen di suatu kabupaten. Sistem tanah bebas pajak
atau hak guna tanah yang seluas 1/5 bagian dari seluruh tanah sawah yang ada di
wilayah kerja bekel atau petinggi (atau jabatan setingkat) itu dinamakan
sistem perlimaan.
Sistem kesatuan tanah di Jawa
pada jaman raja-raja Mataram Islam pra kolonial adalah “jung” yang arti
harafiah atau yang sesungguhnya adalah kaki, yang kira-kira sama dengan 50 x 50
cengkal = 2.500 roede persegi. Satu jung masih bisa dibagi lagi menjadi 5 bau (bau
= lengan). Pengertian harafiah bau atau lengan adalah lengan pekerja seperti
petani atau peladang, yang kemudian juga disebut dengan istilah karya,
yang berarti tugas kerja. Satu bahu luasnya kira-kira sama dengan 500
roede persegi. Akan tetapi dalam administrasi pertanahan Jawa yang masih
sederhana tanah, tanah bebas pajak dari para bekel tidak pernah diperhitungkan
dalam menentukan luas tanah desa. Oleh karena itu dalam daftar pajak yang resmi
hanya diperhitungkan 1 jung sama dengan 4 bau atau karya (G.P. Ruffaer, XXXIV,
1931: 72). Artinya untuk ukuran satu jung yang sesungguhnya masih harus
ditambah bagian bekel sebesar 1 bau, sehingga menjadi 5 bau.
Dengan demikian asal-usul
pengertian bau atau karya itu berhubungan dengan pengertian kesatuan
tenaga kerja. Kemudian, terutama sejak Mataram terpecah menjadi dua
yaituSurakarta dan Yogyakarta (1755), muncul pengertian
cacah yang mempunyai luas sama dengan ¼ bau (karya). Akan tetapi pengertian
cacah ini menunjuk kepada kesatuan tanah dalam suatu keluarga. Ukuran kesatuan
tanah dalam cacah ini juga sekaligus menunjukan sekian banyak real uang
pajak setiap tahunnya. Dalam istilah Belanda lama pajak keluarga semacam itu
disebut dengan istilah hoofdgelden, yang merupakan kesatuan
penetapan dalam hal pajak untuk tanah milik raja. Oleh karena itu setiap
kesatuan tanah yang memberikan nafkah bagi satu orang dan keluarganya, ditarik
pajak satu real per tahun, yang langsung menjadi bagian raja. Dengan demikian
pengertian luas tanah dalam cacah itu juga berhubungan dengan pengertian
pajak satu keluarga dalam real.
Para pejabat birokrasi
tidak menerima imbalan atas pekerjaan dan kedudukannya, akan
tetapi sebagai gantinya mereka memperoleh tanah gadhuhan (pinjam)
sebagai tanahlungguh (jabatan), atau tanah apanage.
Bagian tanah jabatan atau apanage para pejabat birokrasi adalah sebagai
berikut:
1.
|
Wedana Lebet
|
: 5.000 karya
|
2.
|
Wedana Jawi
|
: Lihat penjelasan di bawah
|
3.
|
Wedana Bumija
|
: 6.000 karya
|
4.
|
Wedana Bumi
|
: 6.000 karya
|
5.
|
Wedana Siti Ageng Kiwa
|
: 10.000 karya
|
6.
|
Wedana Siti Ageng Tengen
|
: 10.000 karya
|
7.
|
Penewu
|
: 1.000 karya
|
8.
|
Penatus
|
: 100 karya
|
9.
|
Panalawe
|
: 25 karya
|
10.
|
Panigang Jung
|
: 12 karya
|
11.
|
PanajungPublish Post
|
: 4 karya
|
12.
|
Panakikil
|
: 2 karya
|
Luas tanah lungguh atau apanage
para Wedana Jawi adalah bervariasi, yaitu tergantung dari luasnya daerah
yang menjadi wilayah kerja mereka masing-masing. Artinya semakin luas daerah
yang menjadi wilayah kerjanya, semakin luas pula tanah jabatan yang bisa
dinikmati dan sebaliknya.
Yang memperoleh bagian tanah
lungguh atau apanage dari raja bukan hanya para pejabat birokrasi kerajaan,
akan tetapi juga para bangsawan keluarga raja yang tidak menjadi pejabat
birokrasi. Mereka itu memperoleh tanah apanage yang masing-masing
besarannya adalah sebagai berikut.
1.
|
Nenek raja (Ratu Eyang)
|
: 1.000 karya
|
2.
|
Ibu Raja (Ratu Ibu)
|
: 1.000 karya
|
3.
|
Isteri raja (Ratu Kencana)
|
: 1.000 karya
|
4.
|
Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom)
|
: 8.000 karya
|
5.
|
Para Pangeran (putra raja)
|
: 1.000 karya
|
Besar kecilnya tanah lungguh
seorang pejabat birokrasi kerajaan menunjukkan tinggi rendahnya tingkatan
pejabat itu dalam struktur birokrasi kerajaan, sedangkan bagi para bangsawan
menunjukkan tinggi rendahnya derajad kebangswanan (keningratan) mereka
masing-masing.
Bagi para pejabat birokrasi kerajaan,
tanah lungguh atau apanage itu tidak bisa diwariskan kepada keturunannya.
Artinya tanah itu hanya bisa dinikmati selama seseorang masih berstatus sebagai
pejabat birokrasi kerajaan. Apabila sudah berhenti dari jabatannya dengan
berbagai alasan, tanah tersebut otomatis kembali kepada pemiliknya yaitu raja,
yang kemudian akan diberikan kembali kepada penggantinya. Sebaliknya,
meskipun tidak untuk selamanya, tanah apanage para bangsawan kerajaan bisa
diwariskan kepada keturunannya. Hanya saja luasnya biasanya semakin
menyusut sejalan dengan menurunnya derajad kebangsawanan seseorang. Dalam
sistem kebangsawanan Jawa, derajad kebangsawanan seorang raja semakin menurun
sampai derajad kelima (terbawah). Di bawah itu keturunan seorang raja bisa
dianggap sebagai orang biasa atau kebanyakan. Bahkan sejak menyusutnya
tanah-tanah milik kerajaan Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1812 dan
1830 sebagai akibat aneksasi Inggris dan Belanda, kebangsawanan itu hanya
menurun sampai derarajad ketiga.[26]
D. Simpulan
Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa bahwa para pejabat tinggi dan bangsawan kerajaan
mempunyai kekuasaan dan hak untuk menarik pajak hasil agraria atau tenaga
kerja, karena mereka mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri dengan otonomi
yang besar. Dengan demikian secara finansial mereka berdiri
sendiri (otonom) dengan mempunyai dana dan pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri. Keadaan semacam itu dapat dimengerti karena
pemerintah pusat tidak menggaji mereka, dan sebagai gantinya mereka dibei
hakuntuk menarik pajak dan mengorganisasi tenaga kerja demi kepentingan mereka
sendiri. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menggaji para pejabatnya ini
sebagian besar disebabkan oleh karena sifat perekonomian agraris dan organisasi
keuangan pusat yang belum berkembang.
Kemandirian para pejabat
kerajaan dan para bangsawan itu merupakan cerminan dari sistem pertanahan
feodal khas Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada jaman raja-raja
pra-kolonial. Hal ini berbeda dengan feodalisme Barat Abad Pertengahan,
darimana istilah “Feodal” itu berasal. Di Eropa Barat pada zaman itu, tanah
jabatan (apanage) dari para bangsawan dapat diturunkan (wariskan) kepada
keturunan mereka. Hal itu berangkat dari prinsip kebangsawanan Barat yang
memang bisa diwariskan, meskipun hubungan darah dari raja semakin jauh
atau jika seseorang bangsawan itu sama sekali tidak menduduki jabatan
tertentu dalam struktur birokrasi. Dengan demikian seorang bangsawan Belanda
“Graaf” misalnya, miskipun akhirnya tidak menjadi raja, anak-cucunya akan tetap
menyandang gelar bangsawan yang sama yaitu Graaf. Sebaliknya tingkat atau
derajad kebangswanan seorang anak raja di Jawa akan lebih tinggi
daripada cucu raja, dan cucu raja akan lebih tinggi daripada cicit raja dan
seterusnya. Penurunan derajad kebangsdawanan di Jawa semacam itu juga akan
mempengaruhi besaran (luas) tanah jabatan atau apanage yang diperoleh.
Sistem kebangsawanan di Jawa
semacam itu pada gilirannya mengakibatkan seringnya terjadi perang-perang
suksesi atau perebutan kekuasaan dalam kerajaan (Mataram), karena setiap
bangsawan cenderung untuk mempertahankan atau meningkatkan derajad kebangswanan
dengan cara menjadi raja atau paling tidak mempunyai hubungan darah sedekat
mungkin dengan raja. Tanpa usaha semacam itu seorang bangsawan anak
rajapun, keturunannya akhirnya akan bisa menjadi orang biasa atau
kebanyakan. Sementara para aparat birokrasi , dari yang tertinggi yaitu patih
sampai yang terendah yaitu lurah atau para bekel, sama sekali tidak bisa
mewariskan tanah jabatannya kepada anak atau keturunan mereka. Hanya saja para
pejabat tinggi kerajaan itu pada umumnya adalah para bangsawan keluarga besar
raja, sedangkan para pejabat birokrasi rendah/rendahan hanya cenderung untuk
memperjuangkan bahwa jabatan mereka kelak bisa digantikan oleh keturunannya.
Mengenai rakyat kebanyakan,
“wong cilik” atau petani, adalah pihak yang mengerjakan tanah. Oleh karena
itu mereka hanya menikmati bagian kecil dari hasil menggarap tanah atau
sawah, yaitu 2/5 bagian. Hal semacam itu tentu saja sangat mempengaruhi
etos kerja masyarakat Jawa di kemudian hari, yaitu kurangnya semangat untuk
kerja keras. Dari kacamatamasa kini hal itu bisa mengerti, yaitu karena
tidak adanya dorongan atau harapan untuk bisa menikmati hasil kerja keras
secara wajar atau adil.
Barangkali sampai pada
batas-batas tertentu ada benarnya, jika orang Belanda jaman kolonial mempunyai
kesan bahwa orang (petani) Jawa itu “malas”, karena sistem pertanahan Jawa yang
feodal memang sangat tidak kondusif. Artinya bahwa orang
(petani) Jawa pada jaman itu berpendapat bahwa jerih payah dan kerja keras
itu tidak akan memperoleh imbalan dan hasil yang sepadan.
_______________
Catatan:
183
[1] A. Sartono
Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat radisonal dan Kolonial,
dalam Lembaran Sejarah (Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah UGM,
1969), hlm. 26.
[2] Anoniem, Tedhakan
Pranatan Tuwin Serat Warni-Warni Tumrap Nagari Surakarta, Surakarta:
Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka, No. Katalogus 165, hlm. 6 – 16
[3] James Peacock, “The Tradisional
Society and Consciousness in Java: The Durkheim Perspective”, dalam Indonesia,
No. 19, April 1975, hlm. 171.
[4] A. Sartono Kartodordjo(et
al.), Sejarah Nasional Indonesia. jilid IV, Jakarta:
Balai Pustaka, 1977, hlm. 1.
[6] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden,
Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm. 4.
[7]Sastra Sudaryo, Serat
Pradjandjian Pranatan Lan Undhang-Undhang, Surakarta: Koleksi
Perpustakaan Radyo Pustaka, No. Katalog 47, hlm. 68.
[8] Sastra Sudaryo, Serat
Pradjandjian Pranatan Lan Undhang-Undhang, hlm. 74 dan 75; G.P.
Rouffaer, Vorstenlanden, hlm. 13.
[9] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden,
Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm. 74.
[10] J.
Brandes. “Pustaka Radja Puwara. Register op de Prosa Omzetting van de
Babad”, dalam VBG, 1900, hlm. 169 -173.
[11] Soemarsaid Moertono,
1968. State and Statecraft in Old Java. A Study of the Later Mataram
Period. New York: Ithaca, hlm. 17.
[13] James
Peacock, “The Tradisional Society and Consciousness in Java: The Durkheim
Perspective”, dalam Indonesia, No. 19, April 1975, hlm. 171.
[14]G.P.
Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV,
Seri D, No. 81 (1931), hlm. 279.
[16] P.J.
Veth. Java: Geograpisch, Etnologisch, Historisch. Deel IV. Haarlem:
De Erven F. Bohn, 1912, hlm. 572.
[17]G.P.
Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D,
No. 81 (1931), hlm. 50.
[19] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden, Uitdrukkerij-Adatrechtbundel
XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm.60.
[20] B.
Schrieke. “Indonesia Sociological Studies” Ruler and Realm in
Early Java. Part II. Brussel: A Manteu, 1959, hlm. 161.
[24] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden,
Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm.67-68.
[25] B. Schrieke.
“Indonesia Sociological Studies” Ruler and Realm in Early Java.
Part II. Brussel: A Manteu, 1959, hlm.191-194.
[26] G.P. Rouffaer, Vorstenlanden,
Uitdrukkerij-Adatrechtbundel XXXIV, Seri D, No. 81 (1931), hlm.77.
Langganan:
Postingan (Atom)