Pengertian Wara`
Syaikh Abu Yazid Al-Bistami dikenal sebagai orang yang menjaga dirinya dengan sikap wara’. Sesuai riwayat Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman, Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’.”
Sikap wara‘ salah satunya dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas RA, “Aku
pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di
atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku
khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun
membuangnya.”
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar pernah memuntahkan makanan
yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut beliau lakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah. Padahal pembantunya bukanlah peramal yang baik. Hanya saja ia berhasil menipunya.
yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut beliau lakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah. Padahal pembantunya bukanlah peramal yang baik. Hanya saja ia berhasil menipunya.
Sikap wara’
seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA diatas
mempunyai banyak keutamaan. Karena itu, Rasululah SAW dalam hadis yang
diriwayatkan Imam al-Tirmidzi memerintahkan kepada Abu Hurayrah untuk
bersikap wara’, sebab wara’ akan menjadikannya sebagai orang yang paling
ahli dalam beribadah.
Apa sebenarnya pengertian dari wara'?
Wara’menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak
hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang
wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn
Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat
(sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna.
Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia
menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri
setiap waktu).
Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara':
"Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak
meragukanmu." Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa wara’
adalah membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran
dan najis pakaian.
Karena sikap wara' banyak orang yang melakukan pembersihan jiwa hanya
mengkonsumsi makanan yang jelas sumber dan kehalalannya dalam kegiatan
i'tikaf. Makanan diolah dalam keadaan wudhu dengan senantiasa mengingat
Allah. Bahkan makanan berupa daging yang dikonsumsi dalam i’tikaf
berasal dari sapi atau kambing yang disembelih sendiri oleh panitia
i'tikaf. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar hewan disembelih sesuai
syariat Islam sehingga terjamin kehalalannya.
Diriwayatkan oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata,
“Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah
bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau
bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah
apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”.
apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”.
Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “ Sekalipun
banyak orang yang memberikan fatwa kepadamu”.Sikap wara’ ini memiliki
jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan,
perut, kemaluan, jual beli dan yang lainlain. Banyak orang yang
terjebak ke dalam perkara-perkara yang
diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu
bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT
berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36)
Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan
diperhatikan kaum muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat
menggampangkan masalah ini sehingga terjerumus dalam perbuatan tercela
dalam memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan haram
lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untuk dalih memenuhi
kebutuhan hidup.
Apa hakikat Wara’?
Para ulama memberikan definisi wara’ dengan beberapa ungkapan, diantaranya:
- Wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu dan mengambil yang lebih baik.
- Wara’ adalah ibarat dari tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang.
Sedangkan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ini
dengan ungkapan: “sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang
berakibat bahaya yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan
keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada mafsadat
yang kebih besar dari mengerjakannya” (Majmu’ Fatawa, 10/511).
Hal ini disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim
dengan ungkapan: “Wara’ adalah meninggalkan semua yang dikhawatirkan
merugikan akhiratnya” (Al-Fawaaid hlm 118).
Jelaslah sikap wara’ adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan
dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu. Hal ini dengan
meninggalkan perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tidak dikatakan memiliki wara’ sampai menjauhi perkara syubuhat (samar
hukumnya) karena takut terjerumus dalam keharaman dan meninggalkan
semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya. Sebagaimana dijelaskan
dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا
يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ
اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ
يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ
مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ
“Perkara
halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Diantara keduanya
(halal dan haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yang banyak
orang tidak mengetahuinya. Siapa yang menjauhi perkara syubuhat ini maka
ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus
dalam perkara syubuhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan
ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya.
Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah
di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkanNya“. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Jenis dan tingkatan Wara’
Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani membagi sikap wara’ dalam tiga tingkatan:
- Wajib, yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang.
- Sunnah, yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan
- Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untul sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin. (lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323).
Faedah dan manfaat sikap wara’
Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:
- Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsaan.
- Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.
- Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih.
- Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian.
- Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.
Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yang benar dan tepat
dalam menghadapi gelombang fitnah dunia yang demikian besarnya ini.
sebagaim tambahan mengenai wara`
sebagaim tambahan mengenai wara`
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"
Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah I di dunia maupun di akhirat.
Maka
wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang
meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar
atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di
antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah
kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak
adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa
kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah r bersabda:
إِنَّ
الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ
مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
"Sesungguhnya
yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak
hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa
yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan
agama dan kehormatannya."[i]
Dan
barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan,
niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)."[ii]
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.[iii]
Perjalanan
kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap
akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang
menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbarirahimahullah mengisyaratkan
kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding
penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang
banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan
yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan.
Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada
yang makruh.'[iv]Ibnu Hajar rahimahullah memandang
baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal,
sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret
kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti
memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja
yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya
atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah
tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah,
pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan
dengan pandangan mata.[v]
Ciri
mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya
meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat,
seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.'[vi] Imam al-Bukharirahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu."[vii]Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
البِرُّ
مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ
وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ
إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
"Kebaikan
adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram
kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang
dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang
memberikan berbagai komentar kepadamu."[viii] Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."[ix]
Orang-orang
yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk
diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang
bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari
Rasulullah r, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang
hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang
tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."[x]
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"[xi]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang
mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun
meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan."[xii]
Sebagaimana
wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka
sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan
kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak
mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi:Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalafrahimahullah memandang
sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam
hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam
tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[xiii]
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."[xiv]
Dan
di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara
pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah
engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi
gelap hati karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal
yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti
yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[xv] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara'[xvi]
Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."[xvii]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
'Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga
diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah
menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi
isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap
muru`ah.'[xviii]
Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."[xix]
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara'"[xx]
Apakah
juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga
dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan
berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak
mengetahui.
Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an.
Seperti
inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap
diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.
Kesimpulan:
1. Wara' adalah sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.
2. Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:
a. Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b. Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
c. Menjauhi semua yang diragukan.
d. Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
e. Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f. Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
3. Di antara buah wara' adalah:
a. Menjaga diri dari istidraj.
b. Menjaga agama dan kehormatan.
4. Di antara sikap wara' para sahabat bahwa mereka sangat khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.
sungguh mulia sifat wara‘ nabi kita.
BalasHapus