Kamis, 13 September 2012

SHOLAT ISTISQA 2


 


Istisqa’. Secara harfiah, istisqa’ artinya minta hujan. Sebagai istilah Agama Islam, denganistisqa’ dimaksudkan suatu ibadah tertentu yang berwujud doa-doa atau shalat untuk minta kepada Allah diturunkan hujan pada masa terjadinya kemarau dan musim kering yang panjang.
Dalam Putusan Tarjih (Muktamar Tarjih di Garut, 1976) dituntunkan, bahwa minta hujan itu dapat dilakukan secara perorangan atau berkelompok. Apabila berkelompok, maka diperlukan adanya imam dan dapat dilakukan dengan berdoa bersama saja, dengan dipimpin oleh imam atau dengan melakukan shalat. Apabila minta hujan itu dilakukan dengan berdoa saja, doa itu dapat dilakukan dalam khutbah Jum’at, atau di luar khutbah Jum’at, baik dalam masjid (di atas mimbar) maupun di luar masjid. Dan apabila dilakukan dengan shalat, hal itu dilaksanakan di lapangan, dengan khutbah sesudah shalat. Dan boleh juga khutbah dilakukan sebelum shalat. [Lihat, Putusan Tarjih, Berita Resmi Muhammadiyah, No. 76/1977, hal. 5 (teks Arab) dan hal. 22-23 (terjemahannya)]
Dalam kitab Subulus-Salam dinyatakan, bahwa berdasarkan berbagai hadits, terdapat enam cara Nabi saw melakukan minta hujan. Pertama, Nabi saw keluar ke lapangan melakukan shalat istisqa’ dengan khutbah. Kedua, Nabi saw berdoa minta hujan dalam khutbah Jum’at. Ketiga, Nabi saw berdoa minta hujan di atas mimbar di masjid Madinah di luar hari Jum’at, tanpa shalat. Keempat, Nabi saw minta hujan dengan berdoa, duduk di dalam masjid. Kelima, Nabi saw berdoa minta hujan di Ahjaruz-Zait, dekat az-Zaura’, di luar masjid. Dan keenam, Nabi saw minta hujan ketika di medan perang. (Subulus-Salam, II: 78)
Para ulama fiqih sepakat tentang adanya bermacam cara Nabi saw melakukan istisqa’ini. Kecuali Imam Abu Hanifah, yang berpendapat tidak ada shalat istisqa’ berjamaah untuk minta hujan; yang disyari’atkan hanya doa untuk minta hujan saja. Dalam Kitab-­kitab Hanafi diriwayatkan, bahwa Abu Hanifah berkata: “Untuk istisqa’ (minta hujan) tidak ada shalat jamaah yang disunnahkan” (Fath al-Qadir, 11:91; al-Fatawa al-Hindiyyah, 1:153)
Alasan jumhur ulama yang menyatakan adanya (disyariat­kannya) shalat istisqa’ adalah adanya hadits-hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa Nabi saw melakukan shalat istisqa’dengan berjamaah dan tidak hanya dengan sekadar berdoa. Antara lain adalah hadits:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَي النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ [رواه البخاري ورواه أيضا وأبو داود والنسائي وأحمد]
Artinya: “Dari Abbad Ibn Tamim, dari pamannya (yaitu Abdullah Ibn Zaid) yang mengatakan: “Saya melihat Nabi saw pada hari ia keluar minta hujan, beliau membelakangi orang banyak dan mengha­dap ke Kiblat sambil berdoa, kemudian membalik pakaian atasnya, kemudian shalat mengimami kami dua rakaat, dengan menyaringkan bacaan dalam keduanya.” [HR. al-Bukhari, dan diriwayatkan juga oleh Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad]
Hadits lain yang menjadi dasar adanya shalat istisqa’ adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ خَرَجَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَهُ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ [رواه ابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra (dilaporkan), bahwa dia berkata: Nabi saw pada suatu hari keluar untuk melakukan istisqa’, lalu ia shalat mengimami kami dua rakaat tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian ia berkhutbah dan berdoa kepada Allah, seraya menghadapkan mukanya ke arah Kiblat, sambil mengangkat kedua tangannya, kemudian memutar jubabnya, sehingga ujung kanannya berada di sebelah kiri dan ujung kirinya berada di sebelah kanan.”[HR. Ibnu Majah dan Ahmad]
Dalam Putusan Tarjih, selain hadits-hadits di atas, dikutip pula hadits panjang dari ‘Aisyah untuk menjadi dasar disyariat­kannya shalat minta hujan ini, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُحُوطَ الْمَطَرِ فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ فَوُضِعَ لَهُ فِي الْمُصَلَّى وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَبَّرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ وَقَدْ أَمَرَكُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَبَ أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ [رواه أبو داود]
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra (dilaporkan bahwa) ia berkata: Or­ang-orang telah mengeluh kepada Nabi saw tentang terhentinya hujan, lalu beliau menyuruh mengambil mimbar. Maka, orang-­orang pun menaruhnya di lapangan tempat shalat, dan beliau menjanjikan hendak mengajak mereka pada suatu hari ke tempat itu. ‘Aisyah melanjutkan: Rasulullah saw lalu berangkat pada waktu telah nyata sinar matahari, lalu ia duduk di atas mimbar, lalu membaca takbir dan memuji Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, kemudian beliau mengatakan: Kamu telah mengeluhkan kegersangan negerimu dan tertangguhnya hujan dari waktunya. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu supaya bermohon kepada-Nya dan menjanjikan akan memperkenankan permohonanmu itu. Kemudian beliau berdoa: Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan. Tiada Tuhan selain Allah, yang melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Ya Allah, Engkaulah Allah yang tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Kaya, sementara kami adalah miskin, turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu kekuatan dan bekal bagi kami untuk waktu yang lama. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan terus mengangkatnya, sehingga kelihatan ketiaknya yang putih. Kemudian ia membelakangi orang banyak dan membalikkan pakaian atasnya sambil terus mengangkat kedua tangannya, kemudian ia menghadap kembali kepada orang banyak dan turun dari mimbar lalu shalat dua rakaat.” [HR. Abu Daud, No. 1173]
Adapun alasan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa tidak ada shalat untuk minta hujan adalah hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah saw minta hujan dengan berdoa tanpa shalat. Antara lain, seperti hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ [رواه مسلم وأبو داود وأحمد]
Artinya:  “Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan) bahwa Nabi saw minta hujan seraya menadahkan kedua telapak tangannya ke langit.”
Beberapa ulama Hanafi menyanggah pendapat ini. az-Zaila’i (w. 762/1362) misalnya, menyatakan: “Bahwa Nabi saw melakukan istisqa’ (minta hujan) memang benar adanya. Akan tetapi bahwa ia minta hujan tanpa dengan shalat, ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa beliau melakukan shalat untuk minta hujan itu.” (Nasb ar-Rayah, II: 238). Bahkan, kedua murid beliau, Abu Yusuf (w. 182/798) dan Muhammad (w. 189/805), tidak mengikuti pendapatnya, melainkan mengikuti pendapat jumhur ulama.
Sesungguhnya, hadits-hadits yang dikemukakan di atas tidaklah saling bertentangan, melainkan menggambarkan beberapa cara Rasulullah saw minta hujan; ada kalanya dengan hanya berdoa saja dan ada kalanya dengan shalat berjamaah.
Khutbah Istisqa’. Dalam Putusan Tarjih dituntunkan, bahwa khutbah istisqa’ dilakukan setelah shalat istisqa’ sesuai dengan hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas. Akan tetapi dapat juga dilakukan sebelum shalat, berdasarkan hadits ‘Aisyah riwayat Abu Daud di atas. Mengenai apakah khutbah istisqa’ satu atau dua kali, tidak ada penegasannya dalam Putusan Tarjih. Hanya saja, apabila kita perhatikan hadits-hadits mengenai khutbah istisqa’ tidak ada satupun yang menyebutkan khutbah istisqa’ dua kali. Ini berarti, khutbah istisqa’ itu hanya satu kali seperti khutbah dua hari raya. Bahkan bila kita amati hadits Abu Daud dari ‘Aisyah di atas, tidak ada penyebutan duduk antara dua khutbah, sehingga karena itu dapat dipahami, bahwa khutbah istisqa’ itu adalah satu kali. Bahkan beberapa fuqaha memahami hadits Abu Daud dan Ibnu Abbas di bawah ini sebagai menunjukkan bahwa khutbah istisqa’ adalah satu kali. Hadits dimaksud adalah:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى زَادَ عُثْمَانُ فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ [رواه أبو داود والنسائى والترمذي]
Artinya:  “(Ibnu Abbas menceritakan) Rasulullah saw berjalan dengan pakaian lusuh, dan dengan hati pasrah dan khusyuk hingga sampai ke lapangan tempat shalat -‘Utsman Ibn Abi Syaibah, salah seorang perawi dalam hadits ini menambahkan. “lalu Rasulullah saw naik ke atas mimbar”, kemudian kata-kata ‘Utsman dan an-Nufaili sama lagi- dan beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini, melainkan terus berdoa, khusyuk dan bertakbir, kemudian shalat dua rakaat seperti shalat dua hari raya.” [HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi]
Syamsuddin Ibnu Qudamah menyatakan: “Yang masyru’ adalah satu khutbah. Bagi kami, pernyataan Ibnu Abbad bahwa Nabi saw tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengantarai khutbahnya de­ngan diam atau duduk antara dua khutbah, sebab semua mereka yang melaporkan khutbah tidak menyerukan adanya dua khutbah” (Asy-Syarh al-Kabir, bersama al-Mugni, II:289].
Az-Zaila’i mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Maksudnya adalah bahwa beliau berkhutbah, akan tetapi khutbahnya tidak dua kali seperti pada khutbah Jum’at, tetapi berkhutbah satu kali ... dan tidak diriwayatkan bahwa beliau pernah berkhutbah dua kali”(Nasb ar-Rayah, II:242).

Isi khutbah disampaikan dalam bahasa Indonesia. Arahnya mengajak jamaah untukistighfar dan tobat kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukan. Kemudian, khutbah ditutup dengan doa-doa. Utamanya yang maksud dari Nabi saw. Ketika membaca doa menghadap ke Kiblat, dengan membelakangi jamaah. Doa-doa yang dibaca adalah permohonan ampun dari Allah, seperti dalam khutbah pada umumnya dan ditambah de­ngan doa-doa khusus minta hujan, seperti:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar