Kamis, 13 September 2012

SHOLAT ISTISQA 2


 


Istisqa’. Secara harfiah, istisqa’ artinya minta hujan. Sebagai istilah Agama Islam, denganistisqa’ dimaksudkan suatu ibadah tertentu yang berwujud doa-doa atau shalat untuk minta kepada Allah diturunkan hujan pada masa terjadinya kemarau dan musim kering yang panjang.
Dalam Putusan Tarjih (Muktamar Tarjih di Garut, 1976) dituntunkan, bahwa minta hujan itu dapat dilakukan secara perorangan atau berkelompok. Apabila berkelompok, maka diperlukan adanya imam dan dapat dilakukan dengan berdoa bersama saja, dengan dipimpin oleh imam atau dengan melakukan shalat. Apabila minta hujan itu dilakukan dengan berdoa saja, doa itu dapat dilakukan dalam khutbah Jum’at, atau di luar khutbah Jum’at, baik dalam masjid (di atas mimbar) maupun di luar masjid. Dan apabila dilakukan dengan shalat, hal itu dilaksanakan di lapangan, dengan khutbah sesudah shalat. Dan boleh juga khutbah dilakukan sebelum shalat. [Lihat, Putusan Tarjih, Berita Resmi Muhammadiyah, No. 76/1977, hal. 5 (teks Arab) dan hal. 22-23 (terjemahannya)]
Dalam kitab Subulus-Salam dinyatakan, bahwa berdasarkan berbagai hadits, terdapat enam cara Nabi saw melakukan minta hujan. Pertama, Nabi saw keluar ke lapangan melakukan shalat istisqa’ dengan khutbah. Kedua, Nabi saw berdoa minta hujan dalam khutbah Jum’at. Ketiga, Nabi saw berdoa minta hujan di atas mimbar di masjid Madinah di luar hari Jum’at, tanpa shalat. Keempat, Nabi saw minta hujan dengan berdoa, duduk di dalam masjid. Kelima, Nabi saw berdoa minta hujan di Ahjaruz-Zait, dekat az-Zaura’, di luar masjid. Dan keenam, Nabi saw minta hujan ketika di medan perang. (Subulus-Salam, II: 78)
Para ulama fiqih sepakat tentang adanya bermacam cara Nabi saw melakukan istisqa’ini. Kecuali Imam Abu Hanifah, yang berpendapat tidak ada shalat istisqa’ berjamaah untuk minta hujan; yang disyari’atkan hanya doa untuk minta hujan saja. Dalam Kitab-­kitab Hanafi diriwayatkan, bahwa Abu Hanifah berkata: “Untuk istisqa’ (minta hujan) tidak ada shalat jamaah yang disunnahkan” (Fath al-Qadir, 11:91; al-Fatawa al-Hindiyyah, 1:153)
Alasan jumhur ulama yang menyatakan adanya (disyariat­kannya) shalat istisqa’ adalah adanya hadits-hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa Nabi saw melakukan shalat istisqa’dengan berjamaah dan tidak hanya dengan sekadar berdoa. Antara lain adalah hadits:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَي النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ [رواه البخاري ورواه أيضا وأبو داود والنسائي وأحمد]
Artinya: “Dari Abbad Ibn Tamim, dari pamannya (yaitu Abdullah Ibn Zaid) yang mengatakan: “Saya melihat Nabi saw pada hari ia keluar minta hujan, beliau membelakangi orang banyak dan mengha­dap ke Kiblat sambil berdoa, kemudian membalik pakaian atasnya, kemudian shalat mengimami kami dua rakaat, dengan menyaringkan bacaan dalam keduanya.” [HR. al-Bukhari, dan diriwayatkan juga oleh Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad]
Hadits lain yang menjadi dasar adanya shalat istisqa’ adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ خَرَجَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَهُ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ [رواه ابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra (dilaporkan), bahwa dia berkata: Nabi saw pada suatu hari keluar untuk melakukan istisqa’, lalu ia shalat mengimami kami dua rakaat tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian ia berkhutbah dan berdoa kepada Allah, seraya menghadapkan mukanya ke arah Kiblat, sambil mengangkat kedua tangannya, kemudian memutar jubabnya, sehingga ujung kanannya berada di sebelah kiri dan ujung kirinya berada di sebelah kanan.”[HR. Ibnu Majah dan Ahmad]
Dalam Putusan Tarjih, selain hadits-hadits di atas, dikutip pula hadits panjang dari ‘Aisyah untuk menjadi dasar disyariat­kannya shalat minta hujan ini, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُحُوطَ الْمَطَرِ فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ فَوُضِعَ لَهُ فِي الْمُصَلَّى وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَبَّرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ وَقَدْ أَمَرَكُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَبَ أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ [رواه أبو داود]
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra (dilaporkan bahwa) ia berkata: Or­ang-orang telah mengeluh kepada Nabi saw tentang terhentinya hujan, lalu beliau menyuruh mengambil mimbar. Maka, orang-­orang pun menaruhnya di lapangan tempat shalat, dan beliau menjanjikan hendak mengajak mereka pada suatu hari ke tempat itu. ‘Aisyah melanjutkan: Rasulullah saw lalu berangkat pada waktu telah nyata sinar matahari, lalu ia duduk di atas mimbar, lalu membaca takbir dan memuji Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, kemudian beliau mengatakan: Kamu telah mengeluhkan kegersangan negerimu dan tertangguhnya hujan dari waktunya. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu supaya bermohon kepada-Nya dan menjanjikan akan memperkenankan permohonanmu itu. Kemudian beliau berdoa: Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan. Tiada Tuhan selain Allah, yang melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Ya Allah, Engkaulah Allah yang tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Kaya, sementara kami adalah miskin, turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu kekuatan dan bekal bagi kami untuk waktu yang lama. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan terus mengangkatnya, sehingga kelihatan ketiaknya yang putih. Kemudian ia membelakangi orang banyak dan membalikkan pakaian atasnya sambil terus mengangkat kedua tangannya, kemudian ia menghadap kembali kepada orang banyak dan turun dari mimbar lalu shalat dua rakaat.” [HR. Abu Daud, No. 1173]
Adapun alasan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa tidak ada shalat untuk minta hujan adalah hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah saw minta hujan dengan berdoa tanpa shalat. Antara lain, seperti hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ [رواه مسلم وأبو داود وأحمد]
Artinya:  “Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan) bahwa Nabi saw minta hujan seraya menadahkan kedua telapak tangannya ke langit.”
Beberapa ulama Hanafi menyanggah pendapat ini. az-Zaila’i (w. 762/1362) misalnya, menyatakan: “Bahwa Nabi saw melakukan istisqa’ (minta hujan) memang benar adanya. Akan tetapi bahwa ia minta hujan tanpa dengan shalat, ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa beliau melakukan shalat untuk minta hujan itu.” (Nasb ar-Rayah, II: 238). Bahkan, kedua murid beliau, Abu Yusuf (w. 182/798) dan Muhammad (w. 189/805), tidak mengikuti pendapatnya, melainkan mengikuti pendapat jumhur ulama.
Sesungguhnya, hadits-hadits yang dikemukakan di atas tidaklah saling bertentangan, melainkan menggambarkan beberapa cara Rasulullah saw minta hujan; ada kalanya dengan hanya berdoa saja dan ada kalanya dengan shalat berjamaah.
Khutbah Istisqa’. Dalam Putusan Tarjih dituntunkan, bahwa khutbah istisqa’ dilakukan setelah shalat istisqa’ sesuai dengan hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas. Akan tetapi dapat juga dilakukan sebelum shalat, berdasarkan hadits ‘Aisyah riwayat Abu Daud di atas. Mengenai apakah khutbah istisqa’ satu atau dua kali, tidak ada penegasannya dalam Putusan Tarjih. Hanya saja, apabila kita perhatikan hadits-hadits mengenai khutbah istisqa’ tidak ada satupun yang menyebutkan khutbah istisqa’ dua kali. Ini berarti, khutbah istisqa’ itu hanya satu kali seperti khutbah dua hari raya. Bahkan bila kita amati hadits Abu Daud dari ‘Aisyah di atas, tidak ada penyebutan duduk antara dua khutbah, sehingga karena itu dapat dipahami, bahwa khutbah istisqa’ itu adalah satu kali. Bahkan beberapa fuqaha memahami hadits Abu Daud dan Ibnu Abbas di bawah ini sebagai menunjukkan bahwa khutbah istisqa’ adalah satu kali. Hadits dimaksud adalah:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى زَادَ عُثْمَانُ فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ [رواه أبو داود والنسائى والترمذي]
Artinya:  “(Ibnu Abbas menceritakan) Rasulullah saw berjalan dengan pakaian lusuh, dan dengan hati pasrah dan khusyuk hingga sampai ke lapangan tempat shalat -‘Utsman Ibn Abi Syaibah, salah seorang perawi dalam hadits ini menambahkan. “lalu Rasulullah saw naik ke atas mimbar”, kemudian kata-kata ‘Utsman dan an-Nufaili sama lagi- dan beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini, melainkan terus berdoa, khusyuk dan bertakbir, kemudian shalat dua rakaat seperti shalat dua hari raya.” [HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi]
Syamsuddin Ibnu Qudamah menyatakan: “Yang masyru’ adalah satu khutbah. Bagi kami, pernyataan Ibnu Abbad bahwa Nabi saw tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengantarai khutbahnya de­ngan diam atau duduk antara dua khutbah, sebab semua mereka yang melaporkan khutbah tidak menyerukan adanya dua khutbah” (Asy-Syarh al-Kabir, bersama al-Mugni, II:289].
Az-Zaila’i mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Maksudnya adalah bahwa beliau berkhutbah, akan tetapi khutbahnya tidak dua kali seperti pada khutbah Jum’at, tetapi berkhutbah satu kali ... dan tidak diriwayatkan bahwa beliau pernah berkhutbah dua kali”(Nasb ar-Rayah, II:242).

Isi khutbah disampaikan dalam bahasa Indonesia. Arahnya mengajak jamaah untukistighfar dan tobat kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukan. Kemudian, khutbah ditutup dengan doa-doa. Utamanya yang maksud dari Nabi saw. Ketika membaca doa menghadap ke Kiblat, dengan membelakangi jamaah. Doa-doa yang dibaca adalah permohonan ampun dari Allah, seperti dalam khutbah pada umumnya dan ditambah de­ngan doa-doa khusus minta hujan, seperti:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ

Sholat Istisqa ` 1


Definisi
Istisqa’ artinya minta diturunkan hujan oleh Allah swt untuk sejumlah negeri atau hamba-hambaNya yang membutuhkannya melalui shalat, berdoa dan beristighfar ketika terjadi kemarau.
 
Bentuk-bentuk Memohon Hujan (istisqa’).
1.     Seorang imam shalat dua rakaat bersama makmum, waktunya kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk shalat. Dengan mengeraskan bacaan, rakaat pertama membaca surat Al-’Ala dan yang kedua dengan surat Al-Ghasiyah Selesai shalat Imam berkhutbah di hadapan manusia kemudian berdo’a kepda Allah agar diturunkan hujan. Dan ini adalah cara yang paling sempurna dan lengkap.
2.     Ketika khutbah jum’at kemudian di akhir khutbah khatib berdo’a supaya diturunkan hujan, kemudian makmum mengamini do’anya. Sebagaiamana sabda Nabi saw, Dari Anas ra bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari jum’at, sedangkan Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah, lalu laki-laki tadi berkata, “Wahai Rasulullah saw hartaku telah binasa, bekalku telah habis, maka berdo’alah kepada Allah agar menolong (menurunkan hujan) kepada kita, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
 3.  Hanya dengan berdo’a saja, bukan pada hari jum’at dan tidak pula melaksanakan shalat di masjid atau di tanah lapang.
 
Hukum Sholat Istisqa
Shalat
 Istisqa’ termasuk shalat sunnah yang sangat dianjurkan sekali (sunnah muakkadah), di mana Rasulullah saw pun telah melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut serta untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat istisqa’.
Oleh karena itu apabila hujan sangat lama tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum muslimin pergi ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat istisqa’ dua rakaat di pimpin seorang imam, memperbanyak do’a dan istighfar.
 
Tata Cara Shalat Istisqa’
Pergi ke tanah lapang kemudian shalat berjama’ah bersama orang-orang yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan iqomah akan tetapi hendaknya mengucapakan الصلاة جامعة. Kemudian shalat dua rakaat, jika imam berkenan maka ia dapat membaca takbir sebanyak tujuh kali pada rekaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua seperti  pada shalat hari raya. Pada rakaat pertama imam membaca
 surat al-’Ala setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan suara yang nyaring, sedang pada rakaat yang kedua membaca surat al-Ghasiyah.
 
Setelah selesai shalat hendaknya imam menghadap ke arah jama’ah kemudian ia berkhutbah di hadapan mereka dengan menghimbau mereka supaya banyak beristighfar, lalu imam berdoa yang diamini oleh jama’ah, lalu imam menghadap kiblat serta mengubah posisi selendangnya, sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan dan kemudian mengangkat tangannya, lalu orang-orangpun harus mengubah posisi selendang mereka sebagaimana yang dilakukan seorang imam. Selanjutnya mereka berdoa sesaat kemudian bubar. Sebagaimana sabda Nabi saw dari Abdullah bin Zaid ia berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Saya melihat Nabi saw tatkala pergi ke tanah lapang untuk shalat istisqa’ beliau palingkan punggungnya menghadap para sahabat dan kiblat sambil berdo’a, lalu beliau palingkan selendangnya, kemudian shalat dengan kami du’a rakaat dengan suara yang keras ketika membaca ayat.
 
Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan shalat
 istisqa’ sama seperti shalat hari raya ini adalah pendapat Malikiyah, berdasarkan keterangan dari Aisyah, “Rasulullah saw pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari.” Namun dalam hadits ini bukan membatasi bahwa waktu shalat istisqa’ itu hanya seperti keterangan dalam hadits, akan tetapi waktu pelaksanaan shalat istisqa’ dapat dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang untuk shalat. Karena shalat istisqa’ memiliki waktu yang panjang, namun yang lebih afdhal adalah dilaksanakan pada awal hari sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, karena shalat istisqa’ menyerupai (hampir sama) dengan  shalat ‘ied tata cara dan tempatnya.
 
Hal yang Disunnahkan Sebelum Shalat
Disunnahkan kepada imam untuk mengumumkan pelaksanaan shalat
 istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang supaya bertaubat dari kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kedzaliman. Juga menganjurkan mereka supaya berpuasa, bersedekah, meninggalkan permusuhan  dan memperbanyak amal kebaikan, karena kemaksiatan itu penyebab kemarau dan tidak diturunkannya hujan, sebagaimana ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan keberkahan sehingga Allah swt akan menurunkan hujan dari langit.
 
Khutbah Istisqa’
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai waktu khutbah pada shalat
 istisqa’, Sebagian ulama’ berpendapat dan ini adalah merupakan riwayat dari Imam Ahmad, bahwasanya Imam berkhutbah sebelum shalat istisqa’.
Namun mayoritas ulama’ di antaranya adalah Malik, Syafi’I dan Muhammad bin Hasan dan ini juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal dari jalur yang lain, bahwasanya khutbah
 istisqa’ dilaksanakan setelah shalatistisqa’  dan ini merupakan pendapat yang benar,  sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalm Al-Mughni berdasarkan perkataan dari Abu Hurairah di dalam hadits yang shahih,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah saw keluar pada waktu istisqa’ maka kemudian ia shalat bersama kami dua raka’at tanpa adzan dan iqamah kemudian berkhutbah pada kami dan berdo’a kepada Allah dan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat dengan mengangkat tangannya kemudian membalik selendangnya dan menjadikan selendang sebelah kanan pada pundak yang kiri dan selendang sebelah kiri diletakkan di pundak yang kanan.” (HR. Ibnu Majah).
 
Do’a-do’a Istisqa’
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa do’a di dalam
 istisqa’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw :

1. Sebagaimana hadits yang telah lalu ketika seorang laki-laki datang ke masjid dan Rasulullah saw sedang berkhutbah, kemudian ia minta supaya Rasulullah saw berdo’a sebanyak tiga kali
اللهم أغثنا اللهم أغثنا اللهم أغثنا 
Ya Allah tolonglah kami, tolonglah kami, tolonglah kami.
 

2. Sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا طَبَقًا مَرِيعًا غَدَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong, menyegarkan tubuh dan menyuburkan tanaman dan segera tanpa ditunda-tunda.”
 
3. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwasanya Nabi Saw ketika dalam
 istisqa’ beliau membaca
 اللهم اسقنا اللهم اسقنا اللهم اسقنا
” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami”.
 
4. Salah satu do’a dalam
 istisqa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالْآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya Allah turunkanlah hujan disekitar kami, bukan pada kami. Ya Allah berilah hujan ke dataran tinggi, pegunungan, anak bukit, dan lembah serta di tempat tumbuhnya pepohonan.”
 
5. Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan di antara do’a yang dibaca Nabi saw ketika
 istisqa
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ قَالَ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong. Menyegarkan tubuh, dan menyuburkan tanaman, bermanfaat dan tidak membahayakan dengan segera tanpa ditunda-tunda

Rabu, 05 September 2012

Wara`


Pengertian sifat Wara`
Syaikh Abu Yazid Al-Bistami dikenal sebagai orang yang menjaga dirinya dengan sikap wara’. Sesuai riwayat Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman, Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’.”
Sikap wara‘ salah satunya dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas RA, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun membuangnya.”
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar pernah memuntahkan makanan
yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut beliau lakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah. Padahal pembantunya bukanlah peramal yang baik. Hanya saja ia berhasil menipunya.
Sikap wara’ seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA diatas mempunyai banyak keutamaan. Karena itu, Rasululah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi memerintahkan kepada Abu Hurayrah untuk bersikap wara’, sebab wara’ akan menjadikannya sebagai orang yang paling ahli dalam beribadah.

Apa sebenarnya pengertian dari wara’?

Wara’menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna. Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri setiap waktu).
Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa wara’ adalah membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran dan najis pakaian.
Karena sikap wara’ banyak orang yang melakukan pembersihan jiwa hanya mengkonsumsi makanan yang jelas sumber dan kehalalannya dalam kegiatan i’tikaf. Makanan diolah dalam keadaan wudhu dengan senantiasa mengingat Allah. Bahkan makanan berupa daging yang dikonsumsi dalam i’tikaf berasal dari sapi atau kambing yang disembelih sendiri oleh panitia i’tikaf. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar hewan disembelih sesuai syariat Islam sehingga terjamin kehalalannya.
Diriwayatkan oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah
apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”.
Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “ Sekalipun banyak orang yang memberikan fatwa kepadamu”.Sikap wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lainlain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang
diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36)
Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan diperhatikan kaum muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat menggampangkan masalah ini sehingga terjerumus dalam perbuatan tercela dalam memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan haram lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untuk dalih memenuhi kebutuhan hidup.
Apa hakikat Wara’?
Para ulama memberikan definisi wara’ dengan beberapa ungkapan, diantaranya:
  • Wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu dan mengambil yang lebih baik.
  • Wara’ adalah ibarat dari tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang.
Sedangkan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ini dengan ungkapan: “sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada mafsadat yang kebih besar dari mengerjakannya” (Majmu’ Fatawa, 10/511). Hal ini disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim dengan ungkapan: “Wara’ adalah meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya” (Al-Fawaaid hlm 118).
Jelaslah sikap wara’ adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu. Hal ini dengan meninggalkan perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tidak dikatakan memiliki wara’ sampai menjauhi perkara syubuhat (samar hukumnya) karena takut terjerumus dalam keharaman dan meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ
Perkara halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Diantara keduanya (halal dan haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yang banyak orang tidak mengetahuinya. Siapa yang menjauhi perkara syubuhat ini maka ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubuhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkanNya“. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Jenis dan tingkatan Wara’
Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani membagi sikap wara’ dalam tiga tingkatan:
  1. Wajib, yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang.
  2. Sunnah, yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan
  3. Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untul sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin. (lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323).
Faedah dan manfaat sikap wara’
Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:
  1. Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsaan.
  2. Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.
  3. Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih.
  4. Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian.
  5. Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.
Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yang benar dan tepat dalam menghadapi gelombang fitnah dunia yang demikian besarnya ini.
sebagaim tambahan mengenai wara`
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah”
Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah I di dunia maupun di akhirat.
Maka wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara’ adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah r bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.”[i]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: ”Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).”[ii]
Maka wara’ yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.[iii]
Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbarirahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: ‘Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.’[iv]Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: ‘Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.[v]
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara’ adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: ‘Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adalah menjauhinya.’[vi] Imam al-Bukharirahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”[vii]Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.”[viii] Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.”[ix]
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”[x]
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ…
Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …”[xi]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan.”[xii]
Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi:Menahan diri (bersikap wara’) dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalafrahimahullahmemandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[xiii]
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”[xiv]
Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[xv] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Zainab radhiyallahu ‘anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: ‘Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara’[xvi]
Sebagaimana orang yang wara’ memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
“…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, …”[xvii]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.’[xviii]
Maka apabila wara’ merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.”[xix]
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara’:
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’[xx]
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.
Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak  berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara’ dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu ‘anhum jami’an.
Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.
Kesimpulan:
1.         Wara’ adalah sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.
2.         Di antara tanda-tanda sifat wara’ adalah:
a.      Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b.     Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
c.      Menjauhi semua yang diragukan.
d.     Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
e.      Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f.       Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
3.         Di antara buah wara’ adalah:
a.      Menjaga diri dari istidraj.
b.     Menjaga agama dan kehormatan.
4.         Di antara sikap wara’ para sahabat bahwa mereka sangat  khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.

[i] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.
[ii] Sunan Abu Daud, kitab buyu’ (jual beli), bab ke-3 no. 3329.
[iii] Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290.
[iv] Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39.
[v] Fath al-Bari 1/127.
[vi] Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari kitab Buyu’.
[vii] Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari kitab al-Iman.
[viii] Shahih al-Jami’ no. 2881 (Shahih).
[ix] Shahih al-Jami’ no. 5564 (Shahih)
[x] HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan.
[xi] Shahih al-Jami’ no. 152 (Shahih).
[xii] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292.
[xiii] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290.
[xiv] HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan).
[xv] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman.
[xvi] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab ke-34, hadits no. 4141.
[xvii] Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39, hadits no. 52.
[xviii] Fath al-Bari 1/127.
[xix] Shahih al-Jami’ no. 4580 (Shahih).
[xx] Shahih al-Jami’ no. 3308.

sumber YGNI   induk FKGNI