Jumat, 14 Februari 2014

Dalil Dan Tata Cara Sholat Gerhana

Pengertian Sholat Gerhana
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusûf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusûf semakna dengan kusûf. Ada pula yang mengatakan kusûf adalah gerhana matahari, sedangkan khusûf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. [1] Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.
Dalil Sholat Gerhana
Allah berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui” (Yunus:5)
Dan Dia juga berfirman ,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (٣٧)
“Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (Fushilat:37)
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun ‘alaihi).
Hukumnya
ada tiga pendapat yaitu :
  1. WAJIB : Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at
  2. Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah
  3. Fardhu Kifayah

TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i)
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad.
Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata, “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan riwayat yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
  1. Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
  2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
  3. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
  4. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
  5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
  6. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
  7. Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
  8. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar